Pentingnya ilmu bagi mukmin
قَالُواْ سُبۡحَـٰنَكَ لَا عِلۡمَ لَنَآ إِلَّا مَا عَلَّمۡتَنَآۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلۡعَلِيمُ ٱلۡحَكِيمُ
Malaikat menjawab:
"Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah
Engkau ajarkan kepada
kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengilmui lagi Maha Bijaksana
( QS. Al Baqarah 2:32 )
Saudara
seiman, kalau kita menyimak ayat diatas maka nampak jelas bahwa segala
perbendaharaan ilmu adalah milik Allah semata baik yang zahir maupun yang ghoib
sedangkan kalau pun ada manusia atau bahkan malaikat sekalipun yang memiliki
ilmu maka pada hakikatnya itu berasal dari Allah bukan Karena kepandaian kita
semata, karena pada dasarnya manusia itu bodoh (Al Ahzab 33:72). Namun berapa
banyak manusia yang sadar seperti dialog malaikat diatas bahwa dirinya bodoh
dan hanya Allah sajalah yang maha memiliki ilmu?.....
Kalau
manusia sadar dirinya bodoh sedang Allah Maha memiliki ilmu maka seharusnya manusia
berusaha semaksimal mungkin mencari ilmu dan ilmu disini bukan sembarang ilmu
tapi ilmu Allah, karena tanpa usaha ini manusia akan tetap dalam kebodohan.
Saudara
seiman, berapa banyak waktu kita dalam hidup ini yang sudah kita gunakan untuk
mencari ilmu?... umumnya kita mencari ilmu pada saat usia produktif untuk
belajar atau dalam bahasa kita disebut usia sekolah (smp, sma s/d kuliah)
taruhlah itu memakan waktu 10 tahun cukupkah itu… kalau pun dianggap cukup itu
baru belajar ilmu-ilmu dunia bukan ilmu Allah atau ilmu agama. Dan memang
faktanya manusia lebih memprioritaskan ilmu dunia dari pada ilmu agama, padahal
ilmu agama adalah kompas dalam kehidupan sedang ilmu-ilmu lain hanya untuk
memudahkan kita hidup di dunia. Jika demikian maukah kita mudah hidup di dunia
ini tapi arah dari jalan hidup kita tersesat?….
Jika
kita memperhatikan diri kita pada saat masa sekolah ketika akan ujian apakah
itu ebtanas, uan, uas dll kita persiapkan dengan segala kemampuan yang kita
miliki baik waktu, tenaga, kosentrasi, kesehatan dll tapi adakah kita semua
mempersiapan diri untuk menghadapi ujian hidup yang kita alami sekarang di
dunia?.... bahkan ketika akan ujian sekolah semua soal kita pelajari untuk tahu
apa jawaban dari soal-soal tersebut tapi adakah kita juga mempersiapkan jawaban
atas pertanyaan malaikat mungkar dan nakir di alam kubur nanti?…. itu semua hanya
bisa didapatkan dari ilmu agama bukan ilmu dunia.
Dalam
sebuah hadist riwayat Imam Muslim disebutkan “Barang siapa menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu, maka
Allah akan memudahkan untuknya jalan menuju surga….” . Padahal sama sama
kita ketahui jalan menuju surga itu bukan jalan yang landai dan mudah dilalui
atau bertebaran bunga yang wangi bahkan ini adalah jalan yang sukar lagi
mendaki bahkan betebaran onak dan duri (Al Balad 90:11-12). Namun harus kita
yakini dengan wasilah ilmu maka jalan yang sukar tadi itu dimudahkan oleh
Allah, tidak inginkah kita menjadi bagian dari orang-orang yang dimudahkan
jalannya menuju surga?...
Saudara
seiman, sesungguhnya manusia yang lebih mencari ilmu dunia dibandingkan ilmu
agama hakikatnya mereka sedang mencari ridho manusia bukan ridho Allah padahal
seharunya bagi orang beriman yang dia cari dalam kehidupan ini adalah ridho
Allah karena akhir kehidupan dan usia kita akan kembali kepada Allah. Dan harus
dipahami tidak akan masuk ke dalam surga tanpa mendapat ridhoi dari Allah. “Hai jiwa yang tenang, kembalilah
kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya, Maka masuklah ke dalam
jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku”. (QS. Al Fajr :27-30)
Maka
wallahi demi Allah, tidak disebut
manusia itu mendapat kebaikan jika yang dia dapatkan hanya berupa harta,
jabatan, popularitas dan materi dunia tapi manusia yang mendapatkan kebaikan
dalam hidupnya adalah mereka yang diberikan kepahaman tentang dien atau
kepahaman tentang agama. "Man yuridillahu bihi khoiron yufaqqihhu fid din” siapa
saja yang Allah kehendaki kebaikan terhadapnya, maka Allah memberinya kepahaman
dalam agama". (HR Bukhori
No.71)
Begitu
tinggi kedudukan ilmu dalam islam sehingga generasi awal islam para sabahat,
tabiin dan salafus sholeh begitu mendedikasikan diri mereka terhadap ilmu
sehingga tidak ada waktu luang dalam hidup mereka kecuali semua dalam rangka
mencari ilmu agama. Seorang salafus sholeh bernama Majduddin beliau adalah
kakek dari Ibnu Taimiyah seperti menjadi kebiasaannya ketika masuk kamar mandi
untuk membersihkan diri maka ia selalu memberi kitab kepada anaknya dan diminta
agar dibacakan dengan keras agar Majduddin bisa menyimak dan mempelajarinya.
Demikian
juga kisah Al Farahidy yang dia habisakan waktu untuk mencari ilmu maka ia
pernah berkata “waktu yang paling berat bagiku adalah waktu makan” sehingga ia
hanya makan satu kali dalam sehari, ia pun berkata barang siapa yang banyak
makan maka ia akan banyak minum, siapa yang banyak minum ia akan banyak ke
kamar mandi maka habislah waktunya untuk hal tersebut, maka ia takut kalau waktunya
habis bukan dalam rangka mencari ilmu. Bahkan ada seorang Salafus Sholeh yang
ketika ditawari makan oleh sahabatnya, engkau pilih mana roti dengan kismis
atau roti dengan daging atau pilih roti dengan buah buahan?” maka apa jawaban
orang sholeh tadi…. “berikan saya roti yang disiram air putih” kenapa demikian
jawab sahabatnya?.... “agar aku bisa memakannya dalam satu kali telan, karena
aku khawatir waktuku habis untuk makan”, subhanallah.
Saudara
seiman, mencari dan menuntut ilmu dalam islam hukumnya wajib banyak ayat Al
Quran dan hadist yang mendukung kearah sana diantaranya "Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang
mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya
orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran." (Az-Zumar 39:9) kemudian dalam hadist "Apabila seorang keturunan Adam meninggal dunia maka
terputuslah amalnya kecuali dari tiga hal: shadaqah jariyyah, atau ilmu yang
bermanfaat, atau seorang anak shalih yang mendo'akannya." (HR. Muslim no.1631).
sehingga barang siapa
mengaku beriman tapi tidak berusaha menempuh jalan untuk menuntut ilmu maka dia
akan merugi.
Saudara
seiman, maka ilmu memiliki posisi sentral dalam agama ini karena ia bisa
menghantarkan kita menjadi Khauf atau takut kepada Allah saja, karena hanya Dia
yang berhak kita takuti.
“Dan demikian (pula) di antara
manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang
bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di
antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Pengampun”. (QS. Fathir 35:28)
Ulama
secara etimologi atau secara bahasa berarti orang yang berilmu, jadi ulama itu
bukan dilihat dari zahir pakaiannya, banyak pengikutnya atau banyak
pesantrennya tapi apakah dia punya ilmu atau tidak, kemudian walau dia sudah
berilmu juga tidak otomatis disebut ulama karena berdasar ayat diatas ada satu
syarat lagi agar manusia disebut ulama yaitu takut kepada Allah, tanpa dia
takut kepada Allah maka tidak bisa disebut ulama walau bergelar Profesor, Haji,
KH atau pun Al Muqarom dll. Jadi kalau kita melihat di masyarakat ada orang
bergelar ulama tapi dia tidak takut kepada Allah tapi malah takut kepada selain
Allah maka hakikatnya dia bukan ulama.
Jadi
orang yang berilmu pasti akan memiliki rasa takut kepada Allah, dan rasa takut
ini akan menghantarkan dia mendapatkan ampunan dan pahala yang besar sehingga akhirnya
dimasukkan ke dalam surga, karena Allah katakan dalam ayatNya bahwa Dia akan
sediakan surga bagi orang yang takut padaNya.
“Sesungguhnya orang-orang yang takut
kepada Tuhannya Yang tidak nampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan
dan pahala yang besar”. (QS. Al Mulk
67:12)
Saudara
seiman, bahkan tidak boleh orang beramal atau beribadah tanpa ilmu… al Ilmu qobla amal karena ibadah tanpa
ilmu akan tertolak, begitulah kedudukan ilmu dalam islam, ia bisa menghantarkan
kita benar dalam beribadah dan dengan ilmu jadikan kita memiliki sifat takut
kepada Allah, saudara seiman mudah mudahan kita semua senantiasa dimudahkan dan
dikuatkan oleh Allah untuk senantiasa mengisi waktu dan usia kita untuk belajar
dan menuntut ilmu agama agar dengan ilmu itu tumbuh rasa takut kita kepada
Allah, amin yarobbal alamin.
Penulis
Ustadz Zainur Rochman