Hukum Mengonsumsi Obat yang Mengandung Alkohol
Oleh: DR. Ahmad Zain An Najah, MA.
Penggunaan obat-obatan yang mengandung alkohol masih banyak
diperbincangkan tentang status halal-haramnya. Hal ini dipicu oleh
anggapan bahwa alkohol sama dengan khamr (minuman keras,-red). Padahal,
kenyataannya ada beberapa perbedaan. Yang jelas, alkohol bukan
satu-satunya zat yang memabukkan. Ada banyak zat yang juga memabukkan.
Dalam dunia medis, alkohol digunakan sebagai antiseptik. Bahkan
alkohol merupakan jenis antiseptik yang cukup berpotensi. Cara kerjanya,
alkohol menggumpalkan protein, struktur penting sel yang ada pada
kuman, sehingga kuman mati. Begitu juga Povidon Iodin (Betadine) yang
kadang dicampur dengan solusi alkohol, biasanya digunakan antuk
pembersih kulit sebelum tindakan operasi.
Selain itu, alkohol sering digunakan juga sebagai obat kompres
penurun panas atau untuk campuran obat batuk. Menggunakan Obat yang
Tercampur Dengan Alkohol Pada dasarnya segala bentuk pengobatan
dibolehkan, kecuali jika mengandung hal-hal yang najis atau yang
diharamkan syariah. Untuk obat-obatan yang mengandung alkohol, selama
kandungannya tidak banyak serta tidak memabukkan, maka hukumnya boleh.
Adapun dasar dari penetapan hukum ini adalah sebagai berikut:
Pertama, bahwa yang menjadi ‘illah (alasan) pengharaman khamr adalah
karena memabukkan. Jika faktor ini hilang, haramnya pun hilang. Ini
sesuai dengan kaidah Ushul fiqih, اَلْحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ عِلَّتِهِ
وُجُوْدًا وَعَدَمًا “Hukum itu mengikuti keberadaan ‘illah (alasannya).
Jika ada ‘illahnya, hukum itu ada. Jika ‘illah tidak ada maka hukumnya
pun tidak ada.”
Kedua, unsur alkohol dalam obat tersebut sudah hancur menjadi satu
dengan materi lain, sehingga ciri fisiknya menjadi hilang secara nyata.
Para ulama menyebutnya dengan istilah Istihlak, yaitu bercampurnya benda
najis atau haram dengan benda lainnya yang suci atau halal yang
jumlahnya lebih banyak sehingga menghilangkan sifat najis dan keharaman
benda yang najis tersebut. Hal ini berdasarkan hadits Rasulillah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bahwa beliau bersabda, إذَا كَانَ الْمَاءُ
قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ الْخَبَثَ “Jika air telah mencapai dua kullah,
maka tidak mungkin dipengaruhi kotoran (najis).” (HR. Daruquthni,
Darimi, Hakim dan Baihaqi) Hal ini sama dengan setetes air kencing
bercampur dengan air yang sangat banyak, air itu tetap suci dan
menyucikan selama tidak ada pengaruh dari air kencing tersebut.
Ketiga, dalam suatu hadits disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam bersabda, مَا أَسْكَرَ كَثِيرُهُ فَقَلِيلُهُ حَرَامٌ
“Sesuatu yang apabila banyaknya memabukkan, maka meminum sedikit darinya
dinilai haram.” (Hadits Shahih Riwayat Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu
Majah) Maksud dari hadits tersebut adalah apabila sesuatu yang jika
diminum dalam jumlah banyak bisa memabukkan, maka sesuatu tersebut haram
walaupun dikonsumsi dalam jumlah sedikit. Seperti khamr jika diminum
dalam jumlah yang banyak akan memabukkan, maka setetes khamr murni
(tanpa campuran) diharamkan untuk diminum, walaupun jumlahnya sedikit
dan tidak memabukkan. Lain halnya dengan air dalam satu bejana dan
diberi setetes khamr yang tidak mempengaruhi air tersebut, baik dari
segi warna, rasa, maupun sifat, dan dia tidak memabukkan, maka minum air
yang ada campuran setetes khamr itu dibolehkan. Adapun perbedaan antara
keduanya: Setetes khamr yang pertama haram karena murni khamr; dan
seseorang jika mengonsumsi setetes khamr tersebut dikatakan dia minum
khamr. Adapun setetes khamr kedua adalah tidak haram, karena sudah
dicampur dengan zat lain yang suci dan halal. Dan seseorang jika meminum
air dalam bejana yang ada campuran setetes khamr, akan dikatakan dia
meminum air dari bejana dan tidak dikatakan dia minum khamr dari bejana.
Hukum ini berlaku bagi obat yang ada campuran dengan alkohol.
Keempat, bahwa alkohol tidaklah identik dengan khamr. Tidak setiap
khamr itu alkohol, karena ada zat-zat lain yang memabukkan selain
alkohol. Begitu juga sebaliknya, tidak setiap alkohol itu khamr. Menurut
sebagian kalangan bahwa jenis alkohol yang bisa memabukkan adalah jenis
etil atau etanol. Begitu juga khamr yang diharamkan pada zaman Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallan bukanlah alkohol, tapi jenis lain.
Kelima, menurut sebagian ulama bahwa khamr tidaklah najis secara
lahir, tapi najis secara maknawi. Artinya, bukanlah termasuk benda najis
seperti benda-benda lainnya secara umum. Sehingga alkohol boleh dipakai
untuk pengobatan luar.
Keenam, suatu minuman atau makanan dikatakan memabukkan jika memenuhi
dua kriteria: Pertama, minuman atau makanan tersebut menghilangkan atau
menutupi akal. Kedua, yang meminum atau memakannya merasakan ‘nikmat’
ketika mengonsumsi makanan atau minuman tersebut, bahkan menikmatinya
serta merasakan senang dan gembira yang tiada taranya. Banyak orang
sering menyebutnya dengan “fly”, seakan-akan dia sedang terbang jauh di
angkasa luar, makanya kegembiraan akibat mabuk ini tidak terkontrol. Dan
sering kita dapatkan orang yang mabuk tidak karuan ketika berbicara,
dan dia sendiri tidak menyadari yang dia katakan. Hal dapat kita
saksikan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu orang yang sangat gembira,
kadang hilang kontrolnya, sehingga berbicara dengan hal-hal yang mungkin
kalau dia sadar tentu tidak akan mengatakannya.
Adapun obat bius tidaklah demikian, karena yang memakainya tidaklah
menikmatinya dan tidak merasakan senang dengan obat bius tersebut.
Demikian juga obat bius ini menjadikan orang tidak sadar alias pingsan.
Kalau khamr yang memabukkan tidaklah menjadikiannya pingsan tapi justru
dia menikmatinya, sehingga menjadikannya terus menerus ketagihan
terhadap minuman tersebut. (Syaikh Utsaimin, Syarh Bulughul maram,
Kairo, Dar Ibnu al Jauzi, 2008, hlm: 300) Fenomena ini pernah dijelaskan
oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika menceritakan
seseorang yang karena terlalu senangnya ketika dia menemukan kembali
kuda dan seluruh bekalnya sehingga dia mengucpakan secara salah;
للَّهُمَّ أَنْتَ عَبْدِي وَأَنَا رَبُّكَ “Ya Allah, Engkau adalah
hambaku dan aku adalah Rabb-Mu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Kesimpulan Dari pembahasan di atas, bisa disimpulkan bahwa alkohol
yang digunakan untuk obat-obatan jika dipakai untuk obat luar, maka
hukumnya boleh selama hal itu membawa manfaat bagi yang berobat, dan
menurut pendapat sebagian ulama bahwa alkohol tidak najis. Adapun jika
dipakai untuk obat dalam dan dikonsumsi (dimakan atau diminum), maka
hukumnya dirinci terlebih dahulu: Jika obat tersebut dimunum dalam
jumlah yang banyak akan memabukkan, maka hukumnya haram mengonsumsi obat
yang mengandung alkohol tersebut. Tetapi jika tidak memabukkan, maka
hukumnya boleh. Walau demikian dianjurkan setiap muslim untuk
menghindari obat-obatan yang beralkohol, karena berpengaruh buruk untuk
kesehatan. Wallahu A’lam. [PurWD/voa-islam.com/ar-risalah] Ditulis di
Cipayung, Jakarta Timur, 3 Rabi’ul Akhir 1432 H./9 Maret 2011 M.
No comments:
Post a Comment